Akik Janggus Langkat Sumatera Utara

JANGGUS LANGKAT SUMUT Janggus adalah nama di salah satu Dusun diDesa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan barat Kab.Langkat Propinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan kawasan Rehabilitasi Hutan Mangrove Register 8/L yang juga termasuk sebagai perencanaan sebagai Hutan Model seluas 25 ha,selain itu , juga terkenal sebagai penghasil batu kerikil untuk bahan baku bangunan. Ber ton-ton kawasan tersebut telah menghasilkan kerikil yang di angkut ke berbagai daerah khususnya Sumatera Utara. Dusun Janggus juga terkenal sebagai penghasil batu Akik yang memiliki aneka macam motif menarik dengan bandrol harga berkisar mulai dari ratusan ribu hingga ratusan juta rupiah bahkan ada yang mencapai nilai Miliyaran Rupiah . Salah satu Dusun dengan bebatuan ini tak jarang di datangi pecinta batu akik untuk menjadikannya sebagai penghasilan tambahan dengan menawarkan ke berbagai daerah baik melalui dunia maya, atau secara nyata. Dari beberapa batu akik yang berasal dari Dusun janggus dapat dilihat :  

Desa Lubuk Kertang Kab.Langkat - Sumut _ indonesia

Akik Janggus

FAKTA

 
 
 Klik Saja Gambarnya

 AKSI PERJUANGAN                              PERSIAPAN                           PEKERJAAN 
         

        PENANAMAN                                  KEGIATAN                              PRODUKSI
      

              KELOMPOK                                 MITRA                               TENTANG KAMI      
      

              KUNJUNGAN                            LOKASI                                  PERKEMBANGAN 
     

Sejarah Singkat,
BAB I
KERANGKA ACUAN KAJIAN: 
Dampak Ekspansi Kebun Sawit di Wilayah Pesisir terhadap
Nelayan Tradisional Langkat, Sumatra Utara”


I.          LATAR BELAKANG
SETELAH merambah hutan-hutan hingga pinggiran hulu sungai, wilayah pesisir kini menjadi ruang perebutan pebisnis sawit, tidak terkecuali pulau-pulau kecil. Ekspansi kebun sawit telah berlangsung di sejumlah pulau: Pulau Enggano (Bengkulu Utara), Pulau Mentawai (Sumatra Barat), Pulau Lepar (Bangka Belitung), Pulau Halmahera (Maluku Utara)  dan Pulau Bawal (Kalimantan Barat). Di kawasan pesisir pulau besar, seperti di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, ekspansi kebun sawit mengancam. Tingkat ancaman abrasi pantai yang sangat tinggi, telah membuat cemas banyak nelayan, seperti terjadi di Pulau Ambo dan Balak Balakang, Kabupaten Mamuju,  Propinsi Sulawesi Barat, di mana juga terdapat perkebunan sawit. Di Sumatra Utara, perluasan tanaman sawit telah menghancurkan 75 persen atau 62.800 hektar kawasan pesisir dan kawasan tutupan hutan tersisa 25 persen (Kompas, 30 Jan 2010).

Temuan KIARA di daerah pesisir pantai barat Pulau Sumatra, tepatnya di Desa Lubuk Kasih dan Desa Perlis, Kabupaten Langkat, wilayah mangrove seluas 348,85 ha telah dikonversi oleh perusahaan menjadi perkebunan kelapa sawit. Langkat adalah tempat di mana gejala tersebut di atas telah dan sedang terjadi. Konversi lahan di Langkat bermula dari penebangan hutan mangrove untuk keperluan usaha arang dan pengembangan tambak yang terjadi sejak tahun 1980an. Pada tahun 1999, kondisi diperburuk dengan terjadinya  konversi besar-besaran (skala industri) terkait dengan ekploitasi yang dilakukan PT. Sari Bumi Bakau (SBB) yang memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman Bakau atas areal seluas ±20.100 ha. Konversi tambahan juga terjadi sehubungan dengan operasi yang dilakukan PT Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT Marihot, PT Buana,UD harapan Sawita PT.C.P. Perusahan-perusahaan disebut terakhir mengkonversi lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan kelapa sawit inilah ditengarai telah mengkonversi lahan mangrove  seluas ± 19.000 ha. Sekitar 50 persen kawan konversi berada di pesisir Langkat, mencakup: Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei Lepan, Kecamatan Brandan Barat, Kecamatan Besitang, Kecamatan Pangkalan Susu dan Kecamatan Pematang Jaya (KNTI, Mei 2010).

Ekspansi kebun sawit menyebabkan perkampungan nelayan jadi rentan terhadap banjir, dan mereka makin sulit mencari ikan dan udang di wilayah tangkapnya sendiri. Konversi lahan besar-besaran itu telah menimbulkan berbagai macam persoalan. Secara ekologis, konversi telah menyebabkan menurunnya fungsi ekologis daerah tersebut. Masyarakat sekitar juga telah merasa termajinalkan karena penguasaan dan akses terhadap wilayah semakin tertutup. Secara ekonomi mereka juga merasa dirugikan karena sumberdaya alam yang menjadi sumber pendapatan mereka, seperti nilai ekonomi mangrove, kepiting bakau, udang, ikan, dll., menjadi berkurang secara signifikan.

Dalam konteks ruang, wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara pengaruh laut dan daratan, sehingga sangat kaya akan nutrien. Salah satu bukti kekayaaan nutrien pesisir adalah kawasan mangrove, tempat hidup pelbagai jenis ikan dan beragam biota laut. Jenis usaha yang berfungsi meningkatkan produksi ikan dan udang di pesisir dinamakan budidaya air payau. Situasi saat ini menunjukkan, daerah-daerah yang masih memberikan keuntungan untuk kegiatan pertambakan tetap dipertahankan oleh pemiliknya, bagi pemodal pembudidaya tetap mempertahankan usahanya, sedangkan tambak-tambak yang merugi segera kemudian dikonversi menjadi kebun sawit. Selain itu, ada 3 hal ihwal penting yang menyertai ekspansi kebun sawit di pesisir. 

Merujuk pada kebijakan negara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memandang bahwa  pemerintah telah memberi ruang lebih besar untuk kelapa sawit yaitu: (1) UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (2) Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah dan (3) peraturan reklamasi yang sedang disusun.

Dilihat dari ketiga instrumen tersebut, tentu memudahkan konsesi, serta dapat menjadi peluang pendataan wilayah berprospek bisnis, pada satu pihak, tetapi, pada pihak lain meneruskan degradasi lingkungan dan berbagai persoalan sosial ekonomi masyarakat nelayan. Dalam konteks ini, KIARA menginisiasi kajian dampak kebun sawit di pesisir terhadap nelayan tradisional Langkat, Sumatra Utara. Perlawanan KIARA terhadap industri budidaya sudah dimulai sejak tahun 2003. Namun untuk mengenal sawit di pesisir merupakan hal yang penting dan genting.  Karakter mendasar dari sisi praktek bisnis antara sawit dan budidaya: modal besar, massif, berdampak sosial dan lingkungan.  Membangun sinergitas bersama masyarakat nelayan Langkat dan masyarakat sipil guna melakukan advokasi kebijakan bersama-sama – merupakan tujuan utama dari kajian ini.


II.           HIPOTESA
Perkembangan kebun sawit dengan konversi kawasan pesisir, terutama dengan menebang hutan mangrove dapat menimbulkan dampak negatif terhadap: kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya; serta kondisi ekologi, baik secara langsung maupun tidak. Dampak negatif terhadap lingkungan diidentifikasi menimbulkan kerugian yang harus dibayar oleh masyarakat pesisir. Demikian pula halnya dampak sosial yang teridentifikasi unsur-unsur kausalnya baik sebelum maupun sesudah kebun sawit berkembang di Langkat. Ekspansi perkebunan tidak lepas dari sistem tata kelola pesisir dan pulau-pulau kecil yang saat ini lebih mengarah pada privatisasi.          


III.         TUJUAN PENELITIAN 
KIARA secara khusus menjajaki dampak ekspansi kebun sawit di wilayah pesisir terhadap nelayan tradisional Langkat, Sumatra Utara, dari aspek lingkungan dan sosialnya, dengan tujuan:
1.     Memahami proses konversi lahan pesisir dari hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit; 
2.     Memahami dampak sosial konversi lahan pesisir, yang dalam hal ini relevan kaitannya dengan dampak ekologi.
3.     Memahami dampak ekonomi konversi lahan pesisir, dengan merujuk kepada pendapatan, kesejahteraan dan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya/areal pesisir, dll.
4.     Mehahami strategi-strategi yang dikembangkan masyarakat dalam mengantisipasi dan mitigasi dampak sosial ekonomi konversi lahan.

IV.          FOKUS KAJIAN
1.      Status kepemilikan, pemanfaatan dan penguasaan sumber daya alam;
2.      Sumber-sumber mata pencaharian, baik yang utama maupun alternatif, termasuk identifikasi sumber pangan dan air di pesisir Langkat; 
3.      Dampak industri sawit  terhadap kehidupan sosial dan ekonomimasyarakat nelayan dan warga pesisir. 

V.            METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan merupakan kajian kualitatif dengan penekanan pada keterlibatan masyarakat dalam mengumpukan dan memahami isu-isu penelitian. Partisipasi masyarakat sangat siperlukan karena pada akhirnya hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai bahan advoksi dan penguatan masyarakat. Metode partisipasi akan mengarahkan pada pengembangan rasa memahami dan memiliki masyarakat atas informasi yang dikumpulkan. Untuk keperluan di atas, penelitian akan melakukan  wawancara mendalam, workshop, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan  konsultasi (stakeholder consultation) terkait dengan isu-isu penelitian. 

Selain pedoman wawancara, pedoman FGD, TOR workshop, peta juga akan merupakan alat utama dari penelitian ini. Peta akan digunakan untuk menyaring informasi dinamika penguasaan dan pemanfaatan lahan. Dinamika akan dilihat dengan mengikuti kronologi legal formal status pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan maupun prakteknya di lapangan. Dengan penggumpulan informasi melalui peta ini diharapkan  perkembangan realitas di lapangan dapat tergambarkan secara visual. Dengan demikian analisa maupun sosialisasi akan menjadi lebih mudah dilakukan.

Pedoman penggalian informasi mengenenai issue-issue penelitian telah disiapkan secara umum  sebagai  daftar pertanyaan  (Lihat Bag VI. Pertanyaan Kunci). Pedoman ini akan berfungsi sebagai acuan bagi pemangku kepentingan, terutama  masyarakat pesisir. 

Penelitian ini juga akan memperhatikan masalah gender untuk mengantisifasi kemungkinan terdapatnya perbedaan praktek penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir antara laki-laki dan perempuan.  Bisa dipastikan jika gender  berpengaruh ada status penguasaan dan pemanfaatan lahan, maka dampak dari perubahan fungsi lahan juga akan berpengaruh berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Pemetaan dalam konteks spasial dilakukan secara partisipatif, guna menghasilkan: 1) peta lokasi wilayah yang sudah dikonversi dan 2) peta lokasi wilayah yang belum dikonversi, serta: 3) peta sumber daya di wilayah yang sudah dikonversi dan; 4) peta sumber daya di wilayah yang belum dikonversi. Tersedianya peta sebelum dan sesudah konversi akan memperjelas perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari konversi tersebut.
VI.           Pertanyaan Kunci

Topik 1. Proses Pra Produksi Sawit
No.
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah
1.      
Siapa yang memiliki lahan? Berapa luas bila ada status pemilikan? (dirinci sebelum dan sesudah konversi)

Kebijakan apa yang dikeluarkan pemerintah terkait pemanfaatan lahan di pesisir?
2.      
Siapa yang mengusahakan dan mempunyai tambak? Berapa luas bila ada status pengusahaan? Sejak kapan tambak ada?
Apakah pemerintah memberikan konsesi/ sewa lahan bagi petambak atau perusahaan pertambakan, atau indutri arang atau industri kebun sawit?
3.      
Siapa yang mengusahakan industri arang? Berapa luas konsesi industri arang? Sejak kapan industri arang ada?

Bagaimana proses konsesi lahan itu dilakukan? Kesepakatan apa saja yang dibuat antar pihak terkait?
4.      
Siapa yang mengusahakan dan memiliki kebun sawit? Berapa luas bila ada status pemilikan? Siapa pemilik fasilitas produksi kebun sawit?

Kelompok atau perusahaan mana saja yang memiliki lahan pertambakan, indutri arang, atau industri kebun sawit di daerah ini?
5.      
Apakah penduduk lokal tahu bahwa pemerintah berniat memberi atau menyewakan lahan negara kepada petambak atau perusahaan tambak?  

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap adanya konversi hutan mangrove menjadi tambak?
6.      
Siapa yang mengelola dan memelihara tambak? Dari mana petambak dan buruh petambak berasal? 

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap adanya konversi tambak menjadi kebun sawit?
7.      
Bagaimana warga, khususnya nelayan dan petambak memenuhi kebutuhan pangan? Apakah harga-harga pangan layak atau naik drastis? Seberapa banyak kenaikannya? Apakah mudah memperoleh bahan pangan?

Apa ada kebijakan pemerintah dalam menyediakan dana bagi pembukaan/ produksi tambak, industri arang atau industri kebun sawit?
8.      
Apakah terjadi konversi hutan mangrove pada saat pembukaan kawasan untuk industri arang/ industri sawit? Seberapa luas?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki di daerah ini? Dan apa saja jenis mata pencahariannya?
9.      
Apakah ada bantuan dari pemerintah atau dari perusahaan untuk pembukaan tambak/ kebun sawit/ industri arang?


10.   
Bagaimana petambak mendapat dana untuk membuka dan memulai usaha tambak?


11.   
Berapa jumlah nelayan? Jenis nelayan apa saja?


12.   
Darimana nelayan memperoleh modal usaha untuk penangkapan ikan? 


13.   
Apa saja mata pencaharian warga lokal selain sebagai nelayan dan pembudidaya?


14.   
Apa saja mata pencaharian para perempuan di daerah ini?


15.   
Apa saja manfaat atau produksi hasil hutan bakau yang dinikmati warga secara langsung?


16.   
Apakah terjadi pengusiran atau penutupan akses ke kawasan tangkap/ budidaya warga saat terjadi penebangan bakau / konversi pesisir oleh perusahaan? 


17.   
Apakah pernah terjadi konflik, antara siapa, kapan, berapa lama dan di mana?


18.   
Apa penyebab konflik tersebut?

19.   
Bagaimana konflik itu berlangsung?

20.   
Apakah konflik masih berlanjut? Kalau tidak, langkah penyelesaian apa yang sudah dilakukan? Apakah memadai?

21.   
Peran apa yang dilakukan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir sebelum adanya industri kebun sawit/ industri arang?




Topik. 2 Proses Konversi/ Komersialisasi    
No
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah


  1.  
Apakah ada warga lokal yang bekerja di industri arang/ industri sawit? Untuk posisi apa saja? Berapa banyak? Apakah gajinya memadai?

Apa kebijakan pemerintah dalam proses pemberian izin usaha di pesisir?


  1.  
Apakah ada masalah yang muncul terkait ekspansi sawit di daerah ini? (misalnya: intimidasi, kekerasan terhadap masyarakat)

Apa saja kebijakan dan agenda pemerintah terkait aktivitas bisnis seperti kebun sawit?



  1.  
Bagaimana proses perambahan mangrove oleh industri arang? Berapa luas wilayah kelolanya? Di mana saja?

Apakah industri arang atau sawit memberi pemasukan bagi daerah? Seberapa banyak?  


  1.  
Bagaimana proses ekspansi kebun sawit oleh perusahaan? Berapa luas wilayah kelolanya? Di mana saja?
Siapa saja pengusaha industri kebun sawit di daerah ini? Berapa banyak?


  1.  

Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi wilayah kelola nelayan dan petambak sehingga dapat tetap berproduksi? 


Topik. 3 Dampak terhadap Lingkungan Hidup dan Mata Pencaharian Masyarakat
No
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah


  1.  
Bagaimana petambak dan nelayan lokal membandingkan kondisi lingkungan hidup sebelum  (1970an) dan sesudah terjadi pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran?

Apa kebijakan pemerintah manakala terjadi pengrusakan lingkungan oleh industri?


  1.  
Apakah ada dampak terhadap lingkungan secara khusus terkait industri arang/ industri sawit?

Bagaimana tindakan pemerintah guna menangani pengrusakan lingkungan tersebut? 


  1.  
Apakah ada perubahan mata pencaharian? Apa saja, dan berapa banyak yang beralih profesi?




  1.  
Bagaimana warga, khususnya nelayan dan petambak memenuhi kebutuhan pangan? Apakah harga-harga pangan naik? Seberapa banyak kenaikannya? Apakah mudah memperoleh?




  1.  
Peran apa yang tidak dapat dilakukan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir sebelum adanya industri kebun sawit/ industri arang?





  1.  
Bagaimana penduduk melihat dampak positif dan negatif dari kegiatan industri kebun sawit?




  1.  
Bagaimana penduduk melihat dampak lingkungan industri sawit terhadap pesisir? 




  1.  
Apakah penduduk sekitar diuntungkan dengan adanya kebun sawit?




  1.  
Apa dampaknya terhadap pasokan air?




  1.  
Bagaimana warga mempertahankan hak nya atas pemenuhan kebutuhan air dan wilayah kelola?




  1.  
Apakah ada penggunaan input bahan kimia di perkebunan, yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutkan ekosistem pesisir?




  1.  
Pasca perluasan kebun sawit, kerusakan yang diakibatkan dipastikan telah merugikan warga. Apa saja praktik mitigasi/usaha-usaha penyelesaian yang telah/sedang/akan dilakukan?






VII.        (draf) Sistematika Laporan Riset

DAFTAR ISI
LAPORAN RISET
llll

I.             Pendahuluan

II.            Isi

III.          Penutup

IV.           Daftar Pustaka 











PENANAMAN REHABILITASI HUTAN LAHAN REGISTER 8/L TELAH SELESAI SELUAS 500 HA DI KECAMATAN BRANDAN BARAT KABUPATEN LANGKAT PANTAI TIMUR
PROVINSI SUMATERA UTARA.
P.Brandan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan Register 8/L Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara telah selesai di lakukan penanaman seluas 308 H dari total luas 1200 ha yang telah di konversi oleh Mafia SUTRISNO alias AKAM tersebut, Rehabilitasi ini terlaksana berkat dukungan dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayan I Medan serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Ular serta Bupati Kabupaten Langkat cq dinas kehutanan dan perkebunan  kabupaten langkat, sementara untuk dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Langkat sampai saat ini belum melakukan apapun terkait penyelamatan pesisir sebagai Potensi sumber daya perikanan di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat.
Kegiatan ini melibatkan Masyarakat Pesisir Nelayan Tradisional dari 8 Desa/Kelurahan (Desa Teluk Meku,Kelurahan Sei bilah,Kelurah Brandan Barat,Desa Kelantan,Desa Perlis,Desa Lubuk Kasih,Kelurahan Pangkalan Batu,Desa Lubuk Kertang) yang terdiri dari 3 kecamatan (Kecamatan Bababan,Kecamatan Sei Lepan,Kecamatan Brandan Barat) tergabung dalam kelompok binaan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (kelompok Mangrove Keluarga Bahari,Lestari Mangrove ,Tunas Baru-I)di lakukan sejak 20 september 2013 dengan jumlah bibit yang di tanam sebanyak 1.025.000 batang , rehabilitasi ini bukanlah hal yang mudah dilaksanakan begitu saja melainkan masih banyak tantangan yang di hadapi yang berasal dari mafia yang telah mengkonversi ekosistem mangrove register 8/L seluas 1200 Ha ini yaitu berupa pengrusakan bibit sebanyak 300.000 batang ,pembakaran podok kerja sebanyak dua kali dan seluruhnya telah di laporkan kepada aparat penegakan hukum namun sampai saat ini belum membuahkan hasil yang baik.
Rehabilitasi penyelamatan ekositem mangrove ini akan terus di lanjutkan untuk mengembalikan areal yang telah di konversi oleh mafia tersebut, walau demikian tantangan yang di hadapi di lapangan bahwa mafia tersebut tetap dan terus mengelola sebagian besar areal yang telah di konversi seluas 800 Ha dan telah di tanami tanaman Kelapa Sawit tersebut, belum ada upaya hukum yang kongkrit terkait kejahatan menduduki kawasan hutan secara illegal ini, bahkwan mafia tersebut Sutrisno Alias Aka mini telah di putuskan bersalah melkukan pembukaan perkebunan illegal sesuai undang – undang no 18 tahun 2004 tentang perkebunan (Hukuman 5 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan denda 5 juta rupiah subsider 1 bulan di pengadilan negeri medan), namun sampai saat ini belum ada upaya yang konkrit terkait eksekusi dan penerapan undang-undang 41 tahun 1999 tetang kehutanan serta-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hal ini membuktikan kalau penegakan hukum tidak maxsimal dan merupakan tantangan terberat bagi bangsa jika di biarkan begitu saja.
Perluasan areal Rehabilitasi di Register 8/L kecamatan Brandan Barat penting untuk di lakukan setelah masyarakat pesisir Nelayan Tradisional membuktikan bahwa mampu mengawal areal yang telah di rehabilitasi ini maka desakan kepada pemerintah untuk segera mengeksekusi aral yang di konversi Sutrisno alias Akam Cs segera,menjadi tugas yang harus di selesaikan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang kasusnya Membeku sejak tahun 2009 ini.
Akhirnya segenap masyarakat pesisir Nelayan Tradisional menyatakan tetap terus akan melakukan mengembalikan ekosistem mangrove yang di konversi oleh mafia tersebut , juga mendesak pemerintah untuk segera mengembalikan ekosistem mangrove kepada fungsinya sebelum kerugian yang lebih besar lagi akan terjadi sebagai bentuk bencana alam yang telah terjadi di seantero negeri ini.

Keatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Presedium Region Sumatera

TAJRUDDIN HASIBUAN
0813-7093-1995
Sangkot.hasibuan444@gmail.com








Nelayan Tergusur dari Pesisir

Pemerintah dianggap mengabaikan nasib nelayan tradisional. Ketika pemerintah memberikan hak pengelolaan kawasan pesisir kepada para pengusaha besar, nasib nelayan pun terpinggirkan.Selembar surat diperlihatkan Ketua Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Sumatera Utara, Tajruddin Hasibuan. Surat itu merupakan berita acara penyitaan enam ekskavator milik terduga pelaku perambahan hutan mangrove di Desa Lubuk Kertang, Brandan Barat, Kabupaten Langkat. Adapun pengusaha yang disangka melakukan perusakan hutan mangrove itu adalah Sutrisno alias Akam bin Lim Sau Tjun.Para nelayan menilai pengusaha perkebunaan kelapa sawit bertindak tanpa izin mereklamasi kawasan mangrove untuk ditanami sawit. Tentu saja para nelayan berang, lantaran reklamasi itu menggusur kawasan mangrove, yang selama ini menjadi tempat bagi perkembangbiakan ikan. Akibatnya, para nelayan makin sulit mencari ikan.Padahal, sebelum dilakukan reklamasi, para nelayan hanya perlu berlayar paling jauh 5 mil untuk mendapatkan hasil ikan yang lumayan. “Sekarang nelayan kian jauh pergi melaut,” ujar Tajruddin Hasibuan. Ia menyebutkan, reklamasi kawasan mangrove itu terjadi sejak tahun 2000-an. Ada tiga perusahaan besar yang beroperasi di sana, yaitu UD Harapan Sawita dengan lahan seluas 1.200 hektare, Pelita Nusantara Sejahtera (2.600 hektare), dan Makmur Abadi Raya (700 hektare).“Semuanya melakukan reklamasi tanpa izin di kawasan pantai di Langkat,” Tajruddin menegaskan. Hebatnya, para pengusaha itu seolah tak tersentuh hukum. Kasus Sutrisno adalah contohnya. Sejak kasusnya terungkap, hingga kini ia tak juga tersentuh hukum. Padahal, para nelayan sudah mengadukan perkara ini hingga Mahkamah Agung. Kasus ini hanyalah contoh kecil ketidakberdayaan nelayan tradisional dalam mengakses kekayaan alam. Ketika pengusaha swasta diberi peluang mengusahakan kawasan pesisir, nelayan tradisional pun “tergusur” dari kawasan pesisir. Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Abdul Halim, mengatakan bahwa pemerintah memang cenderung mengabaikan hak nelayan tradisional. Akibatnya, nasib nelayan tradisional yang jumlahnya mencapai 90% dari keseluruhan populasi nelayan di Indonesia tak pernah membaik. Padahal, mereka berperan besar sebagai pemasok 60% kebutuhan protein dari laut. “Wajar jika nelayan selalu identik dengan kemiskinan,” kata Halim kepada Gatra.Contoh pengabaian itu, menurut Halim, adalah diterbitkannya aturan-aturan yang berpotensi merampas hak nelayan. Salah satu contohnya adalah Undang-Undang (UU) Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dalam undang-undang itu terdapat pasal-pasal yang mengatur tentang pemberian hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3).

Di lapangan, pemberian hak-hak pengusahaan kawasan pesisir itu ternyata menimbulkan dampak buruk bagi nelayan tradisional. Selain terusir dari kawasan pesisir, mereka juga rentan dikirminalisasi. Halim mengungkapkan, pada Januari-Maret tahun ini saja, ada 25 nelayan yang dikriminalisasi karena menolak reklamasi dan penambangan pasir laut. Contoh lain adalah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Beleid ini dinilai Halim sebagai “jalan tol” untuk melegalkan reklamasi kawasan pesisir. Dalam catatan Kiara, akibat reklamasi itu, sekitar 17.000 keluarga nelayan di seluruh Indonesia ikut terusir dari kawasan pesisir. Karena itu, pada 2010, kaum nelayan tradisional memohon pembatalan pasal-pasal HP-3 di UU 27/2007 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan itu dikabulkan pada 16 Juni 2011. Majelis hakim MK memutuskan membatalkan seluruh pasal terkait HP-3 karena bertentangan dengan UUD 1945. MK juga mengamanatkan agar pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil dilakukan dengan prinsip open access (akses terbuka) dan common property (milik bersama). Dengan putusan itu, artinya pemerintah tidak lagi bisa membuat aturan yang isinya mengizinkan pengelolaan kawasan tersebut dikuasai pihak tertentu. Sayangnya, Perpres Nomor 122/2012 hingga kini tak pernah dibatalkan, sehingga izin reklamasi pantai terus saja diberikan.

***

Pemerintah memang punya alasan menerbitkan aturan yang memberikan hak penguasaan atas satu wilayah tertentu. Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Sudirman Saad, mengatakan bahwa urgensi dikeluarkannya aturan seperti UU Nomor 27/2007, karena makin maraknya pengembangan wilayah laut dan pesisir akibat pembangunan di darat yang kian padat. Karena itu, banyak kota di Indonesia mengajukan izin untuk mereklamasi dan membangun permukiman di laut.

Sudirman menilai penting bagi pemerintah untuk membuat kontrol dan perizinan terhadap usaha-usaha yang ada di wilayah pesisir. Tujuannya, agar tidak menambrak wilayah zonasi laut yang ada, tidak potensial merusak lingkungan, serta tidak potensial mendegradasi kehidupan sosial masyarakat. “Jadi, setidaknya ada tiga hal yang harus dijaga dan instrumen penjagaannya adalah dengan izin lokasi,” ujarnya. Karena itu, ketika HP-3 dibatalkan MK, pemerintah –dalam hal ini KKP– segera mengajukan revisi. Karena yang dibatalkan MK adalah prinsip pemberian hak, maka dalam draf revisi yang sedang diajukan ke DPR, pihak KKP mengajukan prinsip pemberian izin dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Jika tadinya beleid itu dinamai HP-3, revisinya dinamai izin pemanfaatan perairan pesisir (IP-3) dan izin pemanfaatan ruang perairan (IPRP-2). Sudirman Saad mengatakan, ada perbedaan prinsip antara pemberian hak dan izin. Pemberian hak, kata Sudirman, bersifatbankable alias bisa diagunkan untuk mendapatkan modal dari bank karena memiliki periode pengelolaan yang panjang, hingga 25 tahun. Selain itu, hak tadi juga bisa dialihkan.

Sementara itu, pemberian izin tidak bankable karena periode pengelolaannya singkat, hanya dua setengah tahun, dan tidak bisa dialihkan. Dari sisi ini, menurut Sudirman, pembatalan pemakaian terminologi hak oleh MK itu sebenarnya mengandung kerugian. “Sebenarnya banyak yang butuh hak penguasaan secara permanen atas bagian-bagian tertentu,” katanya. Misalnya budi daya mutiara yang perlu kawasan steril yang tidak boleh orang masuk. “Untuk usaha seperti ini, kami kasih hak. Mereka bisa bankable dan investasi di laut bisa berkembang dengan baik,” tuturnya. Menurut Sudirman, tak semestinya ada kekhawatiran privatisasi jika HP-3 diteruskan. “Privatisasi itu hantu yang dilebih-lebihkan, karena kan ada pengawasan, ada zonasi, dan di situ sudah dikatakan di UU 27/2007, tidak boleh HP-3 diberikan di wilayah konservasi,” ujarnya. Terlebih, kata dia, ada syarat administratif, teknik, dan operasional yang sangat rinci di UU 27/2007. Pola pikir pemerintah itu jelas berbeda jalur dari pemikiran para nelayan tradisional. Menurut Halim, napas HP-3 dan IP-3 serta IPRP-2 sebenarnya sama. “Semangatnya tetap mengavling, memprivatisasi, dan mengkriminalisasi nelayan tradisional,” kata Halim. Karena itu, bagi Kiara, revisi tersebut jelas bertentangan dengan putusan MK. Beleid-beleid model itu, menurut Halim, di satu sisi memang seolah-olah memberikan keadilan, yaitu siapa pun dengan izin pemerintah berhak memanfaatkan segala kekayaan alam yang ada di pesisir dan pulau-pulau kecil. Nyatanya, kata Halim, beleid itu membuka peluang persaingan bebas. Dalam konteks ini, para nelayan tradisional dengan segala keterbatasannya rentan menjadi pihak yang dikalahkan.

***

Persoalan yang mendera para nelayan tradisional memang seperti tak ada habisnya. Muara semua masalah ini, kata Ketua Dewan Pembina KNTI, Riza Damanik, adalah sikap pemerintah yang cenderung mendorong liberalisasi di sektor perikanan, baik investasi maupun perdagangan. Hal ini ditandai dengan terus bertambahnya penanaman modal asing di sektor perikanan, baik di hulu maupun hilir, yang sekarang sudah di atas 90%. Dalam konteks perdagangan, pemerintah sengaja membuka keran impor untuk komoditas yang bisa ditangkap nelayan Indonesia. Akibatnya, hasil tangkapan nelayan justru tak bisa bersaing dengan produk impor. Dari segi investasi, pemerintah juga tidak mendorong tumbuhnya industri perikanan lokal. Akses permodalan yang sulit menjadi hambatan utama pengembangan industri lokal. Pihak bank masih menganggap perikanan sebagai sektor usaha dengan risiko tinggi sehingga sulit mengucurkan modal. “Pemerintah memang telah mencoba, tapi setengah hati. Kalau memang serius, ketika ada bank yang masih meragukan nelayan untuk meminjam, bank itu harus diberi sanksi,” kata Riza. Terlebih, pemerintah tak berdaya menurunkan bunga pinjaman bank yang berada di kisaran 7%-13%. Padahal, di Malaysia dan Cina, hanya 5%-5,5%. Mati surinya sektor usaha perikanan ini juga membuat nelayan tak bisa melakukan peningkatan kapasitas, seumpama meningkatkan kapasitas kapal. Inilah yang membuat nelayan tradisional selalu kalah bersaing dengan swasta dan asing. Untuk itu, pemerintah harus mengubah orientasi pengelolaan perikanan dari privatisasi dan “asingisasi” ke orientasi pengelolaan tradisional. Alasannya, dengan cara itu, Indonesia akan terhindar dari penguasaan sumber daya perikanan oleh segelintir orang. Selain itu, perikanan tradisional juga bisa dijadikan sebagai alat untuk memastikan sektor perikanan tidak terkesploitasi secara besar-besaran dan pada gilirannya dapat lebih menyejahterakan banyak orang. Jika kesejahteraan nelayan terganggu, implikasinya adalah kebutuhan domestik terganggu, jumlah impor makin besar, dan kemiskinan akan terjadi di sepanjang garis pantai Indonesia. “Ini yang sedang terjadi,” ujar Riza. Tanpa solusi yang memadai, boleh jadi suatu saat nanti tak ada lagi nelayan tradisional di Indonesia.

Tanda-tanda ke arah itu saat ini sudah terlihat. Data KKP mengungkapkan, Indonesia rata-rata setiap tahun kehilangan 31.000 nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap hari.

M. Agung Riyadi, Mira Febri Mellya, dan Averos Lubis (Pangkalan Brandan)

Majalah GATRA Edisi 27 / XIX 15 Mei 2013


Alihkan Mangrove Jadi Sawit, Sutrisno Dihukum 6 Bulan
MEDAN, KOMPAS.com - Terdakwa Direktur UD Harapan Sawita, Sutrisno alias Akam, terbukti mengalihfungsikan hutan mangrove seluas 850 hektar milik masyarakat Dusun II dan III di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Berandan Barat, Kabupaten Langkat, menjadi perkebunan sawit tanpa izin.Namun majelis hakim Pengadilan Negeri Medan yang diketuai Erwin Mangatas Malau hanya menghukumnya enam bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan dan denda Rp 5 juta serta subsider satu bulan pada sidang yang digelar Rabu (18/9/2013).Putusan ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya menuntut terdakwa enam bulan penjara dan satu tahun masa percobaan. Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sabrina dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara menyatakan terdakwa melanggar Pasal 46 jo Pasal 17 ayat (1) UU No.18 tahun 2004 tentang Perkebunan.Pada persidangan sebelumnya, terdakwa mengaku sengaja dan lalai mengubah peruntukan lahan menjadi perkebunan sawit tanpa izin. Dia mengatakan, lahan perkebunannya didapat dari masyarakat setempat yang sebagian besar tambak telantar dengan cara mengganti rugi. Semua lahan sudah ditanami sawit dan kini berusia empat tahun.Pada persidangan sebelumnya dengan agenda pemeriksaan saksi, A Hadi selaku Kepala Desa Dusun II dan III membenarkan lahan yang ditanami sawit oleh terdakwa merupakan hutan mangrove. Sehingga ada warga setempat dan warga dari Desa Pernis yang keberatan lahan berubah fungsi menjadi kebun sawit. Menurut warga, akibat perkebunan sawit terdakwa, produksi ikan dan udang di sungai yang berada di dekat lahan menjadi berkurang. Sebab paluh (aliran air) yang berukuran kecil-kecil ditutup, inilah yang membuat masyarakat marah.Saksi juga mengatakan, selama kebun berdiri, dia tidak mengetahui ada ganti rugi yang dilakukan terdakwa kepada masyarakat. "Selain tidak ada izin, terdakwa selaku pemilik UD Harapan Sawita tidak mengajak warga bekerjasama mengelola kebun, kecuali menjadikan mereka buruh. Bahkan tidak ada kontribusi dari terdakwa untuk membangun fasilitas umum di desa," kata saksi waktu itu...................................................................................................................................................



Ratusan Warga Lubuk Kertang Usir Karyawan Perkebunan Sawit




Stabat, (Analisa). Ratusan warga Desa Lubuk Kertang mendatangi barak perkebunan kelapa sawit milik UD Sawita. Warga mengusir paksa karyawan yang sedang memipil tandan buah segar (TBS) di Dusun Tepi Gandu Desa Lubuk Kertang Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat, Sabtu(22/9).Langkah ini dilakukan warga, menyusul tindakan hukum yang dilakukan pemerintah terhadap UD Sawita milik Sutrisno alias Akam tidak berjalan. Karena lahan seluas 975 hektar yang dijadikan perkebunan itu, merupakan tanah hutan mangrove Register 8/LA yang dilindungi dan dilestarikan. Namun, lahan reboisasi mangrove itu masih juga diusahai untuk tanaman kelapa sawit seluas 975 hektar oleh perusahaan tersebut.Aksi itu, merupakan ke delapan kalinya, setelah sebelumnya mereka menjebol tanggul pembatas air laut dan menanami sebahagian lahan sawit itu dengan tanaman mangrove bersama Walhi Sumut 4 bulan silam."Kami bertindak membantu pemerintah dalam mengusir perambah hutan mangrove register 8/LA, karena Sutrisno alias Akam tidak memakai hukum di NKRI, mereka memakai hukum luar negeri. Bahkan sudah berulang kali pemerintah melarang Sutrisno alias Topo alias Akam untuk meninggalkan lahan sawitnya, karena tempat itu merupakan kawasan register 8/LA yang direboisasi dengan dana GNRHL/Gerhan dan hutan mangrove," ujar juru bicara masyarakat Lubuk Kertang Eldin Rusli.
Surat SekdakabBahkan, Eldin memperlihatkan contoh surat yang dikeluarkan Sekdakab Langkat Drs Surya Djahisa atas nama Bupati Langkat selaku ketua tim terpadu penertiban hutan dan lahan kawasan pesisir pantai tanggal 17 November 2011 nomor 522-2849/Pem/2011 tentang Peringatan untuk segera menghentikan aktifitas alih fungsi lahan di wilayah pesisir pantai di Langkat yang ditujukan kepada Sutopo alias Sutrisno alias Akam.Surat nomor 522-2912/Hutbun/2011 tanggal 25 Nopember 2011 tentang melakukan tindakan hukum terhadap Topo alias Sutrisno alias AkamDikatakannya, jika dalam waktu 2 kali 24 jam pihak perkebunan tidak hengkang, ribuan masa mengambil tindakan pembabatan kawasan perkebunan dan menanami tanaman mangrove seperti yang pernah mereka lakukan.Pantauan wartawan di lokasi UD Sawita Lubuk Kertang, aksi masa sempat memanas. Masa sempat melempari barak dan pos jaga UD Sawita dengan batu hingga kaca jendela hancur dan mereka juga nyaris membakar barak dan kantor afdeling UD Sawita, namun aksi itu bisa dicegah dan diamankan Polsek Pangkalanbrandan yang dipimpin Kapolseknya AKP Zainuddin Lubis."Kita inginkan situasi kondusif, jangan ada anarkis dan melaggar hukum,karena pihak Akam tidak berani datang, besok atau Senin kita pertemukan di kantor desa,jika pihak perkebunan tidak mau datang,kita sarankan mereka mereka mengadu ke DPRD," pinta Kapolsek dan massa membubarkan diri kembali ke kediaman mereka masing-masing.Direktur Investigasi Lembaga Pengkajian Pelayanan Masyarakat (LPPM) Misno Adi dengan didampingi anggota lainnya Abu Sofyan, Asran Safari, Sigianto dan Eldin Rusli menjelaskan, sudah berulang kali kasus ini dibawa keranah hukum, tetapi tidak pernah selesai.Bahkan, menurut Misno dengan didampingi Koordinator LPPM Langkat Abu Sofyan selaku yang mengetahui dan melakukan investigasi terhadap lahan register 8/LA pada tahun 2007, di tahun 2007 lalu tim dari Dinas Kehutanan Sumut dan Polda Sumut serta pihak terkait sudah menghentikan aksi perusakan hutan register 8/LA oleh Akam dan menyita 7 unit alat berat (eskavator) mereka.

Direktur Kementerian Kehutanan Tinjau Rehabilitasi Mangrove di Lubuk Kertang Langkat
Brandan Barat (SIB)- Direktur Kementerian Kehutanan Kepala Rhl Heru Dojo di dampingi Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sei Wampu dan Sei Ular, Sofyan bersama petugas Balai Pengelolaan Hutan Mangrove, Karjono dan Fauzan meninjau lahan rehabilitasi mangrove di Desa Lubuk Kertang, Selasa (20/5). Kunjungan Kerja Kementerian Kehutanan, selain untuk melihat hasil rehabilitasi kawasan hutan mangrove yang dilakukan masyarakat pesisir dan nelayan tradisional tersebut, juga untuk melihat kawasan hutan Register 8/L yang sebelumnya dikonversi oknum pemilik modal secara ilegal dijadikan perkebunan kelapa sawit seluas 2000 hektar di Desa Lubuk Kertang, Kecamatan Brandan Barat Langkat.Keterangan Presidium Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Region Sumatera Tajruddin Hasibuan, menyebutkan, pihaknya telah menyampaikan kronologis hancurnya kawasan hutan mangrove termasuk kawasan Register 8/L di Desa Lubuk Kertang kepada pihak Kementerian Kehutanan.Pada kesempatan itu, kata Tajruddin, Direktur Kementerian Kehuatanan Rhl, Heru Dojo menegaskan pihaknya mendukung sepenuhnya gerakan rehabilitasi kawasan hutan mangrove dan hutan Register 8/L di Desa Lubuk Kertang, tersebut oleh sejumlah kelompok warga pesisir pantai bersama komunitas nelayan tradisional.Lebih lanjut Tajruddin mengatakan, meski berbagai teror yang diduga dilakukan oleh kelompok warga yang pro alihfungsi seperti membakar pondok jaga nelayan hingga rata dengan tanah, pemusnahan ratusan ribu bibit pohon mangrove yang sudah siap tanam di tempat penyamaian, namun hal itu tidak akan pernah menyurutkan semangat nelayan untuk melakukan rehabilitasi kawasan hutan mangrove.Pada kesempatan itu masyarakat nelayan juga menyampaikan aksi penolakan mereka terhadap kehadiran sejumlah dapur arang (tempat pembakaran komoditi arang) memakai bahan baku hasil penebangan kayu dari kawasan hutan mangrove.Hadir dalam peninjauan Lapangan, M Iqbal Koordinator KNTI Kab Langkat, dan Balitbang KNTI Azhar, ratusan masyarakat pesisir nelayan tradisional, kelompok pecinta mangrove, Keluarga Bahari, Kelompok Lestari Mangrove dan Kelompok Tunas Baru. (B3/c)

300 Nelayan Jebol Tanggul Pembatas Air Laut
Januari 24, 2012 - Daerah
Langkat, Sumut ( Berita ) : Sebanyak 300 nelayan yang berasal dari Kecamatan Sei Lepan Pangkalan Susu, Kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat,Sumatera Utara menjebol tanggul pembatas air laut menuju pemukiman nelayan.
“Aksi ini kami lakukan untuk menentang alih fungsi hutan bakau (mangrove) yang sudah disulap menjadi kebun kelapa sawit,” kata salah seorang tokoh nelayan Tajruddin Hasibuan, di Pangkalan Brandan, Senin [23/01].
Penjebolan tanggul yang dilakukan nelayan tersebut terjadi Minggu (22/1), karena bangunan itu selama ini membatasi nelayan yang sedang mencari ikan. “Kami tidak bisa melaut karena anak sungai ditutup dengan membuat tanggul pembatas air laut,” katanya.
Menurut Tajruddin, bulan Agustus 2011, masyarakat Lubuk Kertang Brandan Barat juga telah mengadukan oknum yang melakukan pengrusakan hutan mangrove register 8/LA ke Polda Sumatera Utara.
“Saya bersama para saksi dari masyarakat Lubuk Kertang telah melaporkan pengerusakan hutan mangrove yang dilakukan oknum S, dan menjadikan perkebunan kelapa sawit,” katanya.
Sementara itu, salah seorang nelayan lainnya Abdul Zalil, menjelaskan, dalam laporan pengrusakan hutan mangrove itu, dua warga Lubuk Kertang Brandan Barat, sudah dimintai keterangan di Polda Sumut. “Kita berharap pihak Polda Sumut secepatnya turun ke lokasi untuk menertibkan pengrusakan hutan mangrove itu,” ujarnya.
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Langkat, Supandi Tarigan dihubungi menjelaskan, pihaknya telah memberikan surat peringatan yang ketiga terhadap oknum S, agar menghentikan alih fungsi lahan hutan mangrove.
Bahkan, atas nama Bupati Langkat, Sekdakab Langkat Surya Djahisa juga telah memberikan peringatan keras terhadap oknum S tersebut. “Kita sudah berkali-kali melayangkan surat peringatan kepada oknum S, segera meninggalkan lokasi tersebut,” kata Supandi .
Dia juga menjelaskan, surat peringatan keras tersebut juga ditujukan kepada pengusaha Dian/Aan di Dusun III Kwala Serapuh Tanjungpura dan Bastami/Aling di Pulau Sembilan Pangkalan Susu.
Kemudian, Ali Candra dan Aliang di Desa Pasar Rawa Gebang, Jhony/Rudi dan Aliang di Desa Selotong Secanggang, Albert/Tan Dju Huat dan Joni di Securai Selatan Babalan.
Selain itu, katanya, Abien di Teluk Meku Babalan, Saleh di Desa Lubuk Kasih Kecamatan Brandan Barat, PT. PNS dan Sutopo/Sutrisno alias Akam di Desa Lubuk Kertang Brandan Barat.
Bahkan, Pemkab Langkat juga dengan suratnya Nomor 522-2912/HUTBUN/2011 tanggal 25 November 2011, tentang melakukan tindakan hukum terhadap aktivitas perambahan kawasan hutan di pesisir Kabupaten Langkat.
Surat tersebut ditujukan kepada Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) selaku pembina SPORC Brigade Macan Tutul di Medan. Hal tersebut terkait ketiadaan Pemkab Langkat mengenai Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bidang kehutanan, kata Supandi. (ant )







Beking Pejabat di Balik Penguasaan Kawasan Mangrove

Written By : Nur Azizah | 15 November 2012 | 09:54



KBR68H, Jakarta - Nelayan menduga ada beking aparat di balik alih fungsi lahan mangrove seluas 1.200 hektar di Desa Lubuk Kertang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Seorang nelayan Lubuk Kertang Pangkalan Berandan Iman menilai hal itu terjadi akibat kuatnya sumber dana pelaku perkebunan sawit yang menguasai lahan mereka. Selain itu nelayan seringkali menerima ancaman dari pihak perkebunan sawit seperti perusakan alat tangkap ikan atau ambai, termasuk ancaman lewat telepon dan sms."Terkait masalah beking, memang di lahan itu ketika kita mula mula melakukan rehabilitasi paluh. Di situ ada plat nama yang pernah terpasang mengatasnamakan watimpres Luhut Panjaitan. Jadi seolah olah lahan itu milik atau pengawasan dari Luhut Panjaitan. Kemudian kawan kawan juga pernah melihat dia turun ke lapangan. Karena ada kawan kawan kita yang waktu mereka bicara bicara termasuk dengan aparat Polsek, aparat POM TNI, ada kawan kawan kita di situ, mereka memang melihat bahwasanya di situ ada pak Luhut Panjaitan, kata Iman.Nelayan Lubuk Kertang Pangkalan Berandan Iman menambahkan, mereka terus merehabilitasi lahan tersebut untuk meningkatkan kehidupan nelayan.
Sebelumnya para nelayan Desa Lubuk Kertang Pangkalan Berandan Langkat Sumatera Utara mengambil alih lahan mangrove seluas 1200 hektar yang sebelumnya dikuasi sejumlah pelaku perkebunan sawit. Akibatnya nelayan tak lagi berkegiatan di kawasan tangkap mereka. Untuk memulihkan kawasan itu, warga tengah mengupayakan hutan konservasi pesisir seluas 300 hektar yang sudah hancur akibat penebangan mangrove.
http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/2305308_5514.html




Hukum Seberat-beratnya Perambah Mangrove di Brandan Barat
http://www.dnaberita.com/berita-95321-hukum-seberat-beratnya-perambah-mangrove-di-brandan-barat.html.html




MEDAN | DNA - Perambahan hutan mangrove di Kabupaten Langkat, khususnya di Kecamatan Brandan Barat, semakin menjadi-jadi. Dan sepertinya, alam rangka penegakan hukum untuk menindak para Mafia perambah kawasan ekosistem mangrove register 8/L masih mengalami kendala yang sengaja di pelintir.Seperti contoh kasus, pada konversi kawasan ekosistem mangrove register 8/L di Desa Lubuk Kertang, walau sudah sampai kepada penyusunan Berita Acara Pemeriksaan sejak tahun 2009 – 2012, dengan tersangka Sutrisno/Akam Bin LIM SAU TJUNdan kawan-kawan yang telah merusak/Konversi merambah menduduki kawasan hutan secara tidak sah sebagai mana dimaksud dalam pasal 50 ayat (3) Huruf a dan b Jo Pasal 78 ayat (2) dan (15) Undang Undang RI Nomor 41 Tahun 1999,namun belum juga rampung pada Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara.Penegasa itu disampaikan Koordinator Komite Nelayann Tradisional Indonesia (KNTI) se Sumbagut, Tajruddin Hasibuan ST, Minggu (25/8/2013).
Menurutnya, tidak hanya itu saja. dugaan pembukaan perkebunan illegal sesuai undang-undang no 18 tentang perkebunan pada tindak pidana tertentu kepolisian sumatera Utara dan telah melanggar Undang-undang 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup,undang-undang 45 tahun tentang perikanan yang mana terlah menghilangkan potensi sumberdaya perikanan,dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010.Dia mengungkapkan, besok senin (26/8/2013) digelar sidang perambahan kawasan hutan mangrove register 8/L kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat pantai timur provinsi sumatera utara atas nama terdakwa Sutrisno Alias Akam yang telah mengkonversi hutan mangrove seluas 1200 HA untuk jadi kebun sawit serta memprovokasi masyarakat hingga banyak terjadi konflik horizonta, di PN Medan.Untuk itu, pihaknya mendesak Kejatisu dan Pengadilan Negeri (PN) Medan, agar segera memberikan hukuman yang sebnerat-beratnya kepada terdakwa tersebut."Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Mendesak Kejaksaan sumatera utara hingga kejaksaan agung dan Pengadilan negeri medan hingga Mahkamah Agung untuk menindak perambah Hutan Mangrove Register 8/L di Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara,"tegasnya.saati ini faktanya tegas Tajruddin, sudah 1200 HA yang terkonversi menjadi kebun kelapa sawit,namun hingga bergeraknya Masyarakat Pesisir serta Nelayan Tradisional merehabilitasi seluar 300 rakyat ingin bukti dari kinerja aparat penegak hukum."Hari ini rakyat ingin bukti dari kerja Penegak hukum untuk dapat menyelamatkan aset negara yang sudah di rusak oleh Akam alias Sutrisno serta segera mengembalikan kawasan tersebut menjadi hutan mangrove sebagai penyangga seluas 1200 HA dan sudah di selamatkan 300HA yang saat ini sedang di rehabilitasi,"pungkasnya.(sam/nov)





Hutan Mangrove Dibabat, Nelayan Hadang Eskavator




LANGKAT, — Kelompok nelayan tradisional yang berada di kecamatan Brandan Barat, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara (Sumut), melakukan upaya paksa meminta alat berat yang sedang bekerja segera membuka tanggul yang melingkupi hutan mangrove.
"Puluhan nelayan datangi alat berat yang sedang membuat tanggul di register 8/L, hutan mangrove Brandan Barat," kata Presidium Region Sumatera Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Tajruddin Hasibuan, Senin (23/9).
Dijelaskannya, bahwa laju pengrusakan ekosistem mangrove terus terjadi di Kabupaten Langkat khususnya di Kecamatan Brandan Barat Desa Lubuk Kertang Alur Lebah.
Menyaksikan adanya alat berat yang sedang bekerja di hutan mangrove, puluhan nelayan tradisional langsung menghentikan alat berat secara paksa. Alat berat tersebut sudah bekerja selama satu bulan untuk membuat tanggul menutupi paluh yang biasanya tempat nelayan tradisional beraktivitas.
Namun, menyaksikan hutan mangrove yang dirusak, puluhan nelayan tersebut langsung meminta agar eskavator yang bekerja segera menghentikan kegiatannya dengan memaksa operator membuka kembali paluh-paluh yang sudah dilingkupi tersebut.
"Kita prihatin seakan pengusahanya kebal hukum, terbukti masih terus berusaha melingkupi tanggul yang ada," ujar Tajruddin.
Keprihatinan lainnya disampaikannya seakan tidak ada tindakan dari Dinas Kehutanan dan Perkebunan Langkat terhadap pengrusakan hutan mangrove di Brandan Barat, sehingga membuat "gerah" puluhan nelayan. Akhirnya, setelah puluhan nelayan memaksa, operator membuka kembali tanggul yang telah ditutup.
"Tanpa ada perlawanan operator dan dua orang pengawas, pekerja, membuka kembali tanggul- tanggul yang telah mereka tutup sebelumnya," ucap Tajruddin.
Ditambahkannya, maraknya perambahan hutan di Langkat akibat lemahnya hukum di negeri ini. Dinas Hutbun provinsi maupun dinas Hutbun Langkat seolah-olah "mandul" tidak dapat berbuat banyak pengrusakan hutan mangrove.
Ada dugaan, nelayan sengaja dihadapkan dengan mafia perambah hutan, karena tidak proaktif dinas terkait dalam menyikapi permasalahan tersebut hutan mangrove semakin punah.