TENTANG KAMI


         

                  

                

               

     

ANGGOTA LAIN...MENYUSUL...


PENANAMAN REHABILITASI HUTAN LAHAN REGISTER 8/L TELAH SELESAI SELUAS 500 HA DI KECAMATAN BRANDAN BARAT KABUPATEN LANGKAT PANTAI TIMUR
PROVINSI SUMATERA UTARA.
P.Brandan
Kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan Register 8/L Kecamatan Brandan Barat Kabupaten Langkat Pantai Timur Provinsi Sumatera Utara telah selesai di lakukan penanaman seluas 308 H dari total luas 1200 ha yang telah di konversi oleh Mafia SUTRISNO alias AKAM tersebut, Rehabilitasi ini terlaksana berkat dukungan dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayan I Medan serta Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu Ular serta Bupati Kabupaten Langkat cq dinas kehutanan dan perkebunan  kabupaten langkat, sementara untuk dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Langkat sampai saat ini belum melakukan apapun terkait penyelamatan pesisir sebagai Potensi sumber daya perikanan di Register 8/L Kecamatan Brandan Barat.
Kegiatan ini melibatkan Masyarakat Pesisir Nelayan Tradisional dari 8 Desa/Kelurahan (Desa Teluk Meku,Kelurahan Sei bilah,Kelurah Brandan Barat,Desa Kelantan,Desa Perlis,Desa Lubuk Kasih,Kelurahan Pangkalan Batu,Desa Lubuk Kertang) yang terdiri dari 3 kecamatan (Kecamatan Bababan,Kecamatan Sei Lepan,Kecamatan Brandan Barat) tergabung dalam kelompok binaan dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (kelompok Mangrove Keluarga Bahari,Lestari Mangrove ,Tunas Baru-I)di lakukan sejak 20 september 2013 dengan jumlah bibit yang di tanam sebanyak 1.025.000 batang , rehabilitasi ini bukanlah hal yang mudah dilaksanakan begitu saja melainkan masih banyak tantangan yang di hadapi yang berasal dari mafia yang telah mengkonversi ekosistem mangrove register 8/L seluas 1200 Ha ini yaitu berupa pengrusakan bibit sebanyak 300.000 batang ,pembakaran podok kerja sebanyak dua kali dan seluruhnya telah di laporkan kepada aparat penegakan hukum namun sampai saat ini belum membuahkan hasil yang baik.
Rehabilitasi penyelamatan ekositem mangrove ini akan terus di lanjutkan untuk mengembalikan areal yang telah di konversi oleh mafia tersebut, walau demikian tantangan yang di hadapi di lapangan bahwa mafia tersebut tetap dan terus mengelola sebagian besar areal yang telah di konversi seluas 800 Ha dan telah di tanami tanaman Kelapa Sawit tersebut, belum ada upaya hukum yang kongkrit terkait kejahatan menduduki kawasan hutan secara illegal ini, bahkwan mafia tersebut Sutrisno Alias Aka mini telah di putuskan bersalah melkukan pembukaan perkebunan illegal sesuai undang – undang no 18 tahun 2004 tentang perkebunan (Hukuman 5 bulan penjara dengan masa percobaan 8 bulan denda 5 juta rupiah subsider 1 bulan di pengadilan negeri medan), namun sampai saat ini belum ada upaya yang konkrit terkait eksekusi dan penerapan undang-undang 41 tahun 1999 tetang kehutanan serta-undang 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, hal ini membuktikan kalau penegakan hukum tidak maxsimal dan merupakan tantangan terberat bagi bangsa jika di biarkan begitu saja.
Perluasan areal Rehabilitasi di Register 8/L kecamatan Brandan Barat penting untuk di lakukan setelah masyarakat pesisir Nelayan Tradisional membuktikan bahwa mampu mengawal areal yang telah di rehabilitasi ini maka desakan kepada pemerintah untuk segera mengeksekusi aral yang di konversi Sutrisno alias Akam Cs segera,menjadi tugas yang harus di selesaikan Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara yang kasusnya Membeku sejak tahun 2009 ini.
Akhirnya segenap masyarakat pesisir Nelayan Tradisional menyatakan tetap terus akan melakukan mengembalikan ekosistem mangrove yang di konversi oleh mafia tersebut , juga mendesak pemerintah untuk segera mengembalikan ekosistem mangrove kepada fungsinya sebelum kerugian yang lebih besar lagi akan terjadi sebagai bentuk bencana alam yang telah terjadi di seantero negeri ini.

Keatuan Nelayan Tradisional Indonesia
Presedium Region Sumatera

TAJRUDDIN HASIBUAN
0813-7093-1995
Sangkot.hasibuan444@gmail.com


BAB I
KERANGKA ACUAN KAJIAN: 
Dampak Ekspansi Kebun Sawit di Wilayah Pesisir terhadap
Nelayan Tradisional Langkat, Sumatra Utara”


I.          LATAR BELAKANG
SETELAH merambah hutan-hutan hingga pinggiran hulu sungai, wilayah pesisir kini menjadi ruang perebutan pebisnis sawit, tidak terkecuali pulau-pulau kecil. Ekspansi kebun sawit telah berlangsung di sejumlah pulau: Pulau Enggano (Bengkulu Utara), Pulau Mentawai (Sumatra Barat), Pulau Lepar (Bangka Belitung), Pulau Halmahera (Maluku Utara)  dan Pulau Bawal (Kalimantan Barat). Di kawasan pesisir pulau besar, seperti di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, ekspansi kebun sawit mengancam. Tingkat ancaman abrasi pantai yang sangat tinggi, telah membuat cemas banyak nelayan, seperti terjadi di Pulau Ambo dan Balak Balakang, Kabupaten Mamuju,  Propinsi Sulawesi Barat, di mana juga terdapat perkebunan sawit. Di Sumatra Utara, perluasan tanaman sawit telah menghancurkan 75 persen atau 62.800 hektar kawasan pesisir dan kawasan tutupan hutan tersisa 25 persen (Kompas, 30 Jan 2010).

Temuan KIARA di daerah pesisir pantai barat Pulau Sumatra, tepatnya di Desa Lubuk Kasih dan Desa Perlis, Kabupaten Langkat, wilayah mangrove seluas 348,85 ha telah dikonversi oleh perusahaan menjadi perkebunan kelapa sawit. Langkat adalah tempat di mana gejala tersebut di atas telah dan sedang terjadi. Konversi lahan di Langkat bermula dari penebangan hutan mangrove untuk keperluan usaha arang dan pengembangan tambak yang terjadi sejak tahun 1980an. Pada tahun 1999, kondisi diperburuk dengan terjadinya  konversi besar-besaran (skala industri) terkait dengan ekploitasi yang dilakukan PT. Sari Bumi Bakau (SBB) yang memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) Tanaman Bakau atas areal seluas ±20.100 ha. Konversi tambahan juga terjadi sehubungan dengan operasi yang dilakukan PT Pelita Nusantara Sejahtera (PNS), PT Marihot, PT Buana,UD harapan Sawita PT.C.P. Perusahan-perusahaan disebut terakhir mengkonversi lahan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Pengembangan kelapa sawit inilah ditengarai telah mengkonversi lahan mangrove  seluas ± 19.000 ha. Sekitar 50 persen kawan konversi berada di pesisir Langkat, mencakup: Kecamatan Babalan, Kecamatan Sei Lepan, Kecamatan Brandan Barat, Kecamatan Besitang, Kecamatan Pangkalan Susu dan Kecamatan Pematang Jaya (KNTI, Mei 2010).

Ekspansi kebun sawit menyebabkan perkampungan nelayan jadi rentan terhadap banjir, dan mereka makin sulit mencari ikan dan udang di wilayah tangkapnya sendiri. Konversi lahan besar-besaran itu telah menimbulkan berbagai macam persoalan. Secara ekologis, konversi telah menyebabkan menurunnya fungsi ekologis daerah tersebut. Masyarakat sekitar juga telah merasa termajinalkan karena penguasaan dan akses terhadap wilayah semakin tertutup. Secara ekonomi mereka juga merasa dirugikan karena sumberdaya alam yang menjadi sumber pendapatan mereka, seperti nilai ekonomi mangrove, kepiting bakau, udang, ikan, dll., menjadi berkurang secara signifikan.

Dalam konteks ruang, wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara pengaruh laut dan daratan, sehingga sangat kaya akan nutrien. Salah satu bukti kekayaaan nutrien pesisir adalah kawasan mangrove, tempat hidup pelbagai jenis ikan dan beragam biota laut. Jenis usaha yang berfungsi meningkatkan produksi ikan dan udang di pesisir dinamakan budidaya air payau. Situasi saat ini menunjukkan, daerah-daerah yang masih memberikan keuntungan untuk kegiatan pertambakan tetap dipertahankan oleh pemiliknya, bagi pemodal pembudidaya tetap mempertahankan usahanya, sedangkan tambak-tambak yang merugi segera kemudian dikonversi menjadi kebun sawit. Selain itu, ada 3 hal ihwal penting yang menyertai ekspansi kebun sawit di pesisir. 

Merujuk pada kebijakan negara, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memandang bahwa  pemerintah telah memberi ruang lebih besar untuk kelapa sawit yaitu: (1) UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, (2) Rancangan Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah dan (3) peraturan reklamasi yang sedang disusun.

Dilihat dari ketiga instrumen tersebut, tentu memudahkan konsesi, serta dapat menjadi peluang pendataan wilayah berprospek bisnis, pada satu pihak, tetapi, pada pihak lain meneruskan degradasi lingkungan dan berbagai persoalan sosial ekonomi masyarakat nelayan. Dalam konteks ini, KIARA menginisiasi kajian dampak kebun sawit di pesisir terhadap nelayan tradisional Langkat, Sumatra Utara. Perlawanan KIARA terhadap industri budidaya sudah dimulai sejak tahun 2003. Namun untuk mengenal sawit di pesisir merupakan hal yang penting dan genting.  Karakter mendasar dari sisi praktek bisnis antara sawit dan budidaya: modal besar, massif, berdampak sosial dan lingkungan.  Membangun sinergitas bersama masyarakat nelayan Langkat dan masyarakat sipil guna melakukan advokasi kebijakan bersama-sama – merupakan tujuan utama dari kajian ini.


II.           HIPOTESA
Perkembangan kebun sawit dengan konversi kawasan pesisir, terutama dengan menebang hutan mangrove dapat menimbulkan dampak negatif terhadap: kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di sekitarnya; serta kondisi ekologi, baik secara langsung maupun tidak. Dampak negatif terhadap lingkungan diidentifikasi menimbulkan kerugian yang harus dibayar oleh masyarakat pesisir. Demikian pula halnya dampak sosial yang teridentifikasi unsur-unsur kausalnya baik sebelum maupun sesudah kebun sawit berkembang di Langkat. Ekspansi perkebunan tidak lepas dari sistem tata kelola pesisir dan pulau-pulau kecil yang saat ini lebih mengarah pada privatisasi.          


III.         TUJUAN PENELITIAN 
KIARA secara khusus menjajaki dampak ekspansi kebun sawit di wilayah pesisir terhadap nelayan tradisional Langkat, Sumatra Utara, dari aspek lingkungan dan sosialnya, dengan tujuan:
1.     Memahami proses konversi lahan pesisir dari hutan mangrove menjadi perkebunan kelapa sawit; 
2.     Memahami dampak sosial konversi lahan pesisir, yang dalam hal ini relevan kaitannya dengan dampak ekologi.
3.     Memahami dampak ekonomi konversi lahan pesisir, dengan merujuk kepada pendapatan, kesejahteraan dan akses masyarakat nelayan terhadap sumberdaya/areal pesisir, dll.
4.     Mehahami strategi-strategi yang dikembangkan masyarakat dalam mengantisipasi dan mitigasi dampak sosial ekonomi konversi lahan.

IV.          FOKUS KAJIAN
1.      Status kepemilikan, pemanfaatan dan penguasaan sumber daya alam;
2.      Sumber-sumber mata pencaharian, baik yang utama maupun alternatif, termasuk identifikasi sumber pangan dan air di pesisir Langkat; 
3.      Dampak industri sawit  terhadap kehidupan sosial dan ekonomimasyarakat nelayan dan warga pesisir. 

V.            METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan merupakan kajian kualitatif dengan penekanan pada keterlibatan masyarakat dalam mengumpukan dan memahami isu-isu penelitian. Partisipasi masyarakat sangat siperlukan karena pada akhirnya hasil dari penelitian ini akan digunakan sebagai bahan advoksi dan penguatan masyarakat. Metode partisipasi akan mengarahkan pada pengembangan rasa memahami dan memiliki masyarakat atas informasi yang dikumpulkan. Untuk keperluan di atas, penelitian akan melakukan  wawancara mendalam, workshop, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan  konsultasi (stakeholder consultation) terkait dengan isu-isu penelitian. 

Selain pedoman wawancara, pedoman FGD, TOR workshop, peta juga akan merupakan alat utama dari penelitian ini. Peta akan digunakan untuk menyaring informasi dinamika penguasaan dan pemanfaatan lahan. Dinamika akan dilihat dengan mengikuti kronologi legal formal status pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan maupun prakteknya di lapangan. Dengan penggumpulan informasi melalui peta ini diharapkan  perkembangan realitas di lapangan dapat tergambarkan secara visual. Dengan demikian analisa maupun sosialisasi akan menjadi lebih mudah dilakukan.

Pedoman penggalian informasi mengenenai issue-issue penelitian telah disiapkan secara umum  sebagai  daftar pertanyaan  (Lihat Bag VI. Pertanyaan Kunci). Pedoman ini akan berfungsi sebagai acuan bagi pemangku kepentingan, terutama  masyarakat pesisir. 

Penelitian ini juga akan memperhatikan masalah gender untuk mengantisifasi kemungkinan terdapatnya perbedaan praktek penguasaan dan pemanfaatan lahan pesisir antara laki-laki dan perempuan.  Bisa dipastikan jika gender  berpengaruh ada status penguasaan dan pemanfaatan lahan, maka dampak dari perubahan fungsi lahan juga akan berpengaruh berbeda terhadap laki-laki dan perempuan.

Pemetaan dalam konteks spasial dilakukan secara partisipatif, guna menghasilkan: 1) peta lokasi wilayah yang sudah dikonversi dan 2) peta lokasi wilayah yang belum dikonversi, serta: 3) peta sumber daya di wilayah yang sudah dikonversi dan; 4) peta sumber daya di wilayah yang belum dikonversi. Tersedianya peta sebelum dan sesudah konversi akan memperjelas perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari konversi tersebut.
VI.           Pertanyaan Kunci

Topik 1. Proses Pra Produksi Sawit
No.
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah
1.      
Siapa yang memiliki lahan? Berapa luas bila ada status pemilikan? (dirinci sebelum dan sesudah konversi)

Kebijakan apa yang dikeluarkan pemerintah terkait pemanfaatan lahan di pesisir?
2.      
Siapa yang mengusahakan dan mempunyai tambak? Berapa luas bila ada status pengusahaan? Sejak kapan tambak ada?
Apakah pemerintah memberikan konsesi/ sewa lahan bagi petambak atau perusahaan pertambakan, atau indutri arang atau industri kebun sawit?
3.      
Siapa yang mengusahakan industri arang? Berapa luas konsesi industri arang? Sejak kapan industri arang ada?

Bagaimana proses konsesi lahan itu dilakukan? Kesepakatan apa saja yang dibuat antar pihak terkait?
4.      
Siapa yang mengusahakan dan memiliki kebun sawit? Berapa luas bila ada status pemilikan? Siapa pemilik fasilitas produksi kebun sawit?

Kelompok atau perusahaan mana saja yang memiliki lahan pertambakan, indutri arang, atau industri kebun sawit di daerah ini?
5.      
Apakah penduduk lokal tahu bahwa pemerintah berniat memberi atau menyewakan lahan negara kepada petambak atau perusahaan tambak?  

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap adanya konversi hutan mangrove menjadi tambak?
6.      
Siapa yang mengelola dan memelihara tambak? Dari mana petambak dan buruh petambak berasal? 

Bagaimana kebijakan pemerintah terhadap adanya konversi tambak menjadi kebun sawit?
7.      
Bagaimana warga, khususnya nelayan dan petambak memenuhi kebutuhan pangan? Apakah harga-harga pangan layak atau naik drastis? Seberapa banyak kenaikannya? Apakah mudah memperoleh bahan pangan?

Apa ada kebijakan pemerintah dalam menyediakan dana bagi pembukaan/ produksi tambak, industri arang atau industri kebun sawit?
8.      
Apakah terjadi konversi hutan mangrove pada saat pembukaan kawasan untuk industri arang/ industri sawit? Seberapa luas?
Berapa jumlah perempuan dan laki-laki di daerah ini? Dan apa saja jenis mata pencahariannya?
9.      
Apakah ada bantuan dari pemerintah atau dari perusahaan untuk pembukaan tambak/ kebun sawit/ industri arang?


10.   
Bagaimana petambak mendapat dana untuk membuka dan memulai usaha tambak?


11.   
Berapa jumlah nelayan? Jenis nelayan apa saja?


12.   
Darimana nelayan memperoleh modal usaha untuk penangkapan ikan? 


13.   
Apa saja mata pencaharian warga lokal selain sebagai nelayan dan pembudidaya?


14.   
Apa saja mata pencaharian para perempuan di daerah ini?


15.   
Apa saja manfaat atau produksi hasil hutan bakau yang dinikmati warga secara langsung?


16.   
Apakah terjadi pengusiran atau penutupan akses ke kawasan tangkap/ budidaya warga saat terjadi penebangan bakau / konversi pesisir oleh perusahaan? 


17.   
Apakah pernah terjadi konflik, antara siapa, kapan, berapa lama dan di mana?


18.   
Apa penyebab konflik tersebut?

19.   
Bagaimana konflik itu berlangsung?

20.   
Apakah konflik masih berlanjut? Kalau tidak, langkah penyelesaian apa yang sudah dilakukan? Apakah memadai?

21.   
Peran apa yang dilakukan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir sebelum adanya industri kebun sawit/ industri arang?




Topik. 2 Proses Konversi/ Komersialisasi    
No
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah

  1.  
Apakah ada warga lokal yang bekerja di industri arang/ industri sawit? Untuk posisi apa saja? Berapa banyak? Apakah gajinya memadai?

Apa kebijakan pemerintah dalam proses pemberian izin usaha di pesisir?

  1.  
Apakah ada masalah yang muncul terkait ekspansi sawit di daerah ini? (misalnya: intimidasi, kekerasan terhadap masyarakat)

Apa saja kebijakan dan agenda pemerintah terkait aktivitas bisnis seperti kebun sawit?


  1.  
Bagaimana proses perambahan mangrove oleh industri arang? Berapa luas wilayah kelolanya? Di mana saja?

Apakah industri arang atau sawit memberi pemasukan bagi daerah? Seberapa banyak?  

  1.  
Bagaimana proses ekspansi kebun sawit oleh perusahaan? Berapa luas wilayah kelolanya? Di mana saja?
Siapa saja pengusaha industri kebun sawit di daerah ini? Berapa banyak?

  1.  

Bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi wilayah kelola nelayan dan petambak sehingga dapat tetap berproduksi? 


Topik. 3 Dampak terhadap Lingkungan Hidup dan Mata Pencaharian Masyarakat
No
Pertanyaan untuk Seluruh Stakeholder
Pertanyaan Spesifik bagi Pemerintah

  1.  
Bagaimana petambak dan nelayan lokal membandingkan kondisi lingkungan hidup sebelum  (1970an) dan sesudah terjadi pembukaan hutan mangrove secara besar-besaran?

Apa kebijakan pemerintah manakala terjadi pengrusakan lingkungan oleh industri?

  1.  
Apakah ada dampak terhadap lingkungan secara khusus terkait industri arang/ industri sawit?

Bagaimana tindakan pemerintah guna menangani pengrusakan lingkungan tersebut? 

  1.  
Apakah ada perubahan mata pencaharian? Apa saja, dan berapa banyak yang beralih profesi?



  1.  
Bagaimana warga, khususnya nelayan dan petambak memenuhi kebutuhan pangan? Apakah harga-harga pangan naik? Seberapa banyak kenaikannya? Apakah mudah memperoleh?



  1.  
Peran apa yang tidak dapat dilakukan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir sebelum adanya industri kebun sawit/ industri arang?




  1.  
Bagaimana penduduk melihat dampak positif dan negatif dari kegiatan industri kebun sawit?



  1.  
Bagaimana penduduk melihat dampak lingkungan industri sawit terhadap pesisir? 



  1.  
Apakah penduduk sekitar diuntungkan dengan adanya kebun sawit?



  1.  
Apa dampaknya terhadap pasokan air?



  1.  
Bagaimana warga mempertahankan hak nya atas pemenuhan kebutuhan air dan wilayah kelola?



  1.  
Apakah ada penggunaan input bahan kimia di perkebunan, yang pada akhirnya mengganggu keberlanjutkan ekosistem pesisir?



  1.  
Pasca perluasan kebun sawit, kerusakan yang diakibatkan dipastikan telah merugikan warga. Apa saja praktik mitigasi/usaha-usaha penyelesaian yang telah/sedang/akan dilakukan?






VII.        (draf) Sistematika Laporan Riset

DAFTAR ISI
LAPORAN RISET
llll

I.             Pendahuluan

II.            Isi

III.          Penutup

IV.           Daftar Pustaka